Pada sore hari di sebuah kafe, dengan duduk santai sambil menikmati sajian kopi, kami mengobrol hal-hal receh-receh seputar kebisingan kampus dan beberapa menit kemudian topik obrolan mengarah pada pengalaman masing-masing dan ia ingin mengatakan sesuatu, dengan arah narasi satu hal, seolah-olah, bahwa dirinya sering dimanfaatkan oleh manusia-manusia berkepentingan.
"Saya kalo mau minta bayaran dari jurnal yang saya tulis itu, Qin," ia meyakinkan pembicaranya dan saya tahu bahwa ia tidak mungkin berbohong sebab saya kenal dekat, "saya kaya raya, Qin. Tapi ya ..." ia beri jeda kata-katanya, seolah-olah ada sekat kata dalam tenggorokannya.
Tampak saya melihat ada kekesalan dan kejengkelan di wajahnya ketika kata-kata "tapi ya ..." itu ia tahan, seolah-olah ia ingin memberontak konsep patuh, pada orang-orang yang dianggap guru, yang tidak patut ditiru.
Ia membuka pikiran saya untuk berpikir realistis pada apa yang kita kerjakan dan saya setuju dengan nasihatnya itu. "Idealis bukan berarti harus menolak upah menulis, Qin." katanya.
Saya tersenyum seraya menyetujui. "Betul, Mas. Kadang prinsip idealis oleh segelintir mahasiswa dikira harus menolak segala bentuk materi," jawab saya. "Sepertinya mereka punya kekuatan lebih untuk bertahan hidup meski tanpa uang."
Dan ia cekikikan, lalu kemudian menyeruput kopi yang agak mulai kedinginan.
Saya memahami pengalaman getirnya, karena saya juga pernah mengalami hal serupa, meski bentuk rupa kepentingan itu berbeda. Ia kemudian berterus terang bahwa dilingkungan sekitarnya, banyak orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya; memanfaatkan keahliannya menulis; dengan rupa dan gelagat sama; yang suatu hari jika ada kebutuhan mendesah mereka datang dengan raut muka polos dan semacamnya, berbagai variannya.
Mereka pasang muka polos dan melobi segala cara untuk mendapatkan bantuan dengan tujuan persoalan tugas kampus selesai (dibalik kepolosannya ternyata ada maksud terselubung yang ingin meminta bantuan dan setelah urusan itu selesai, persetan mulai).
Tipikal manusia semacam di atas mungkin banyak dan tidak melulu urusan satu hal dan waspadalah keberadaannya. Sebab keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dan konsekuensinya, jika terlanjur masuk ke dalam dunianya: waktu habis oleh kepentingan-kepentingannya, yang sama sekali bukan tanggung jawab kita.
Sesungguhnya ia tidak pernah menolak jika ada orang yang kesulitan menyelesaikan persoalannya dan meminta bantuannya; jika satu dua tiga kali mereka datang, tentu saja. Tetapi jika urusan bantu-membantu itu berulang-ulang kali dan pekerjaan itu memungkinkan mampu diselesaikan sendiri, kenapa harus merepotkan orang?
"Kan bisa dipelajari sendiri," katanya. "Bisa dikerjakan sendiri."
Saya mengelaborasi obralan itu dengan realita yang terjadi di kalangan mahasiswa, yang belakangan---oh, jika saya tidak salah baca alamat---sulit gemar membaca.
"Itulah pentingnya belajar menulis, Qin. Kita dituntut membaca sekaligus menulis," sanggahnya. "Kalau pun belajar menulis bukan untuk jadi penulis. Minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah."
Dan sekali lagi saya setuju.
Kesulitan mereka menyelesaikan problem kepentingannya---yaitu tugas-tugas kampus itu---adalah minimnya semangat mereka membaca dan menulis. Saya setuju bahwa kalau pun tidak ada niatan untuk menjadi penulis, minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan tulis-menulis.
Dan tugas-tugas kampus, sialnya, tidak seperti pekerjaan sawah yang berkaitan dengan cangkul, dan kawanannya, sebagaimana kita tahu bahwa, tugas kampus selalu bertali-temali dengan urusan membaca-menulis, kecuali masuk kampus pertanian.
Dan obrolan sore itu kami tutup dengan misi yang sama: kita harus lebih berhati-hati kedepannya. Manusia-manusia berkepentingan masih berkeliaran di sekeliling kita dan kita harus rela menjaga jarak agar mereka tahu menempatkan diri bahwa dirinya juga mampu menyelesaikan problem ke-diri-annya.